SEMANGAT MENCERDASKAN BANGSA

Saturday 24 September 2011

Memaksimalkan Peran Otak dalam Pembelajaran



BELAHAN OTAK KIRI DAN KANAN.

Setiap belahan otak (kiri atau kanan) mempunyai fungsi yang berbeda. Belahan otak kiri berhubungan dengan logika, analisa, bahasa, rangkaian (sequence) dan matematika. Jadi belahan otak kiri berespons terhadap masukan-masukan di mana dibutuhkan kemampuan mengupas/meninjau (critiquing), menyatakan (declaring), menganalisa, menjelaskan, berdiskusi dan memutuskan (judging).  Belahan otak kanan berkaitan dengan ritme, kreativitas, warna, imajinasi dan dimensi. Jadi belahan otak kanan berfungsi kalau manusia menggambar, menunjuk, memeragakan, bermain, berolahraga, bernyanyi, dan aktivitas motorik lainnya.  Sebenarnya kedua belahan otak kiri dan kanan sama penting dan sama kuatnya. Mereka saling melengkapi satu dengan yang lain.

Kalau sampai saat ini pembelajar lebih banyak menggunakan belahan otak kiri, apa yang terjadi kalau sekarang mereka memakai kedua belahan itu sekaligus ? Tentunya secara teoritis pembelajar akan memiliki kekuatan otak yang ganda, karena memakai semua kapasitas otak yang dimilikinya. Bahan ajar  yang diciptakan ini  memakai strategi mengoptimalkan seluruh kapasitas otak pembelajar.


PEMBELAJARAN YANG MENARIK.

Pembelajar khususnya orang dewasa biasanya takut untuk berbuat kesalahan. Sudah tentu semua proses belajar ada kemungkinan gagal atau membuat kesalahan. Tapi sebagai pengajar kita bisa membuat resiko ini seminimal mungkin. Hal ini agak sulit dicapai kalau pembelajar diminta untuk berbicara dalam bahasa target. Di lain pihak ada pendapat bahwa orang akan belajar secara optimal kalau dia ikut berpartisipasi (Malouf, Doug 2000). Tugas pengajar untuk memikirkan aktivitas apa yang paling optimal, menarik, dinamis dan relatif lebih kecil resikonya. Malouf (2000) mengajukan format bahan ajar untuk pembelajar dewasa :

     1. Tahap pemberian informasi.

         Sebelum   diberi   dialog,  pengajar  mempersiapkan   kerangka  berpikir pembelajar dengan    memberikan    latar    belakang    situasi   atau    mengajukan   pertanyaan- pertanyaan   pra-dialog.  Hal  ini  bisa  dihubungkan  dengan budaya atau kebiasaan masyarakat Indonesia.

         Asher  (1966)  mengatakan : “pembelajaran melalui   pancaindera    penglihatan lebih efisien dan bertahan  lebih  lama  dalam   ingatan  dibandingkan  dengan pendengaran”. Dengan  pertimbangan di atas,  penulis  mengombinasi   pemberian  dialog   melalui   audio   dengan  benda-benda  konkrit,  gambar,  gerakan  fisik  dan ekspresi emosi.

     2. Tahap peragaan.
         Asher (1966)  percaya    bahwa  kondisi    yang     optimal    untuk    belajar   adalah bagaimana     pembelajar     pertama-tama    diperkenalkan    dengan    bahan     ajar. Menurutnya,  ketrampilan   menebak  sangat  penting   dalam  belajar dan  erat Kaitannya   dengan  lamanya   bertahan   dalam   ingatan. Implikasinya,  jangan berikan  terjemahan    atau    arti    langsung     kepada    pembelajar,   tapi    biarkan mereka memprosesnya secara mendalam dan menebaknya  melalui  konteks. Selain itu Asher mengemukakan :  “Semakin   tepat  pembelajar   menebak   arti kata,  semakin   cepat   dia   belajar   kosa  kata  baru, menyerapnya,  mengert kalimat  atau  konteksnya  dan  bertahan  lebih lama dalam  ingatan”.  Artinya,  jangan    biarkan    pembelajar    menerka-nerka    sendiri,   tetapi   pengajar    harus memperkecil   kesalahan   menebak dengan memberikan gerakan, ekspresi dan cara  konkrit  lainnya yang  memudahkan pemahaman kosa kata baru.  
        

     3. Tahap pelaksanaan.

         Sesudah   pemahaman   terjadi,  pembelajar   diharapkan   bisa  memproduksi secara  terbatas  melalui  aktivitas yang  sederhana. Sesudah  itu  bias mengaplikasikanny  dalam situasi yang lebih majemuk.