Gagasan dan program untuk menurunkan emisi GRK secara internasional telah dilakukan sejak tahun 1979. Program itu memunculkan
sebuah
gagasan dalam bentuk perjanjian internasional, yaitu Konvensi Perubahan Iklim, yang diadopsi pada tanggal 14 Mei 1992 dan berlaku sejak tanggal
21 Maret 1994,
Pemerintah Indonesia turut menandatangani perjanjian tersebut
dan
telah
mengesahkannya melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994.
Agar Konvensi tersebut dapat dilaksanakan
oleh Para Pihak, dipandang
penting adanya komitmen lanjutan, khususnya untuk
negara pada Annex I (negara industri
atau negara penghasil GRK) untuk menurunkan GRK
sebagai unsur utama penyebab perubahan iklim. Namun, mengingat lemahnya komitmen Para Pihak dalam Konvensi
Perubahan Iklim,
Conference of the Parties (COP) III yang diselenggarakan di
Kyoto pada
bulan
Desember tahun 1997 yang dimana menghasilkan suatu konsensus yang berupa keputusan dasar bagi negara-negara industri untuk mengurangi
emisi gas rumah
kaca gabungan yang paling sedikit persen darii
tingkat
emisi tahun 1990 menjelang periode 2008-2012. komitmen yang mengikat secara hukum ini akan mengembalikan
tendensi peningkatan
emisi yang secara historis dimulai
di
negara-negara tersebut 150
tahun yang lalu. Protokol
Kyoto yang demikian
selanjutnya protokol
itu disebut, disusun untuk mengatur target waktu penurunan emisi bagi negara maju.
Sementara, negara berkembang tidak memiliki kewajiban atau komitmen
untuk menurunkan emisinya.
Lahirnya Protokol Kyoto tidak dapat dilepaskan dari
peran UNFCCC
(United Nations Framework Convention
on Climate Change) sebagai
kerangka Konvensi Perubahan Iklim yang diterima secara universal. Pada Konferensi
para pihak kedua (CoP-2) di Jenewa merupakan titik awal
dimana para negara memutuskan untuk mengadopsi
suatu Protokol sebagai langkah konkret untuk menghadapi pemanasan global.