Desa trunyan merupakan sebuah desa kuno di tepi danau batur. Desa ini
merupakan sebuah desa bali aga, bali mula dengan kehidupan masyarakat yang unik
dan menarik bali aga, berarti orang bali pegunungan, sedangkan bali mula
berarti bali asli. Kebudayaan orang Trunyan mencerminkan satu pola kebudayaan
petani yang konservatif. Masyarakat Trunyan masih sangat primitif sehingga penduduk Trunyan mempersepsikan diri dan
jati diri mereka dalam dua versi.
1. Versi pertama, orang Trunyan adalah orang
Bali Turunan, karena mereka percaya bahwa leluhur mereka ‘turun’ dari langit ke
bumi Trunyan. Terkait dengan versi ini, orang Trunyan mempunyai satu mite atau
dongeng suci mengenai asal-usul penduduk Trunyan adalah seorang Dewi dari
langit.
2.
Versi
kedua orang Trunyan hidup dalam sistem ekologi dengan adanya pohon Taru Menyan,
yaitu pohon yang menyebarkan bau-bauan wangi. Dari perdaduan kata “taru” dan
“menyan” berkembang kata Trunyan yang dipakai nama desa dan nama penduduk desa
tersebut.
Hawa udara desa Trunyan sangat sejuk, suhunya rata-rata 17 derajat
Celcius dan dapat turun sampai 12 derajat Celcius. Danau Batur dengan ukuran
panjang 9 km dan lebar 5 km merupakan salah satu sumber air dan sumber
kehidupan agraris masyarakat Bali selatan dan timur.
Di sebelah utara Trunyan terdapat kuban, sebuah tempat makam desa,
namun jenazah tidak dikuburkan atau dibakar, melainkan diletakkan di bawah
pohon setelah dilakukan upacara kematian yang rumit. Tempat pemakamanan ini
dipenuhi oleh tulang-tulang, dan bisa jadi kita menemukan mayat yang masih
baru. Masyarakat Trunyan mempunyai suatu
tradisi dalam memakamkan orang yang meninggal. Ada yang dikubur tapi ada juga
yang tidak dikubur tapi hanya diletakkan di bawah pohon besar. Pohon tersebut
adalah pohon menyan. Tetapi ada syarat-syarat tertentu tentang pemakaman di
desa trunyan. Ada dua cara pemakaman di desa trunyan.
1.
Meletakkan jenazah diatas tanah dibawah udara terbuka
yang disebut dengan istilah mepasah. Orang-orang yang dimakamkan dengan cara
mepasah adalah mereka yang pada waktu matinya termasuk orang-orang yang telah
berumah tangga, orang-orang yang masih bujangan dan anak kecil yang gigi
susunya telah tanggal.
2.
Dikubur / dikebumikan. Orang-orang yang dikebumikan
setelah meninggal adalah mereka yang cacat tubuhnya, atau pada saat mati
terdapat luka yang belum sembuh seperti misalnya terjadi pada tubuh penderita
penyakit cacar, lepra dan lainnya. Orang-orang yang mati dengan tidak wajar
seperti dibunuh atau bunuh diri juga dikubur. Anak-anak kecil yang gigi susunya
belum tanggal juga dikubur saat meninggal.
Ada tiga
macam kuburan:
1. Sema (kuburan) Wayah bagi warga yang
kematiannya wajar. Letaknya paling utara.
2. Sema Muda untuk menguburkan bayi dan anak
kecil atau warga yang sudah dewasa tetapi belum menikah.
3. Sema Bantas untuk warga yang kematiannya
tidak wajar, misalnya karena kecelakaan atau karena bunuh diri.
Dua kuburan
pertama, Sema Wayah dan Sema Muda, letaknya agak berjauhan dengan desa,
sedangkan Sema Bantas terletak di dekat Desa Trunyan.
Ketika kita
berada di seberang danau, kita dapat melihat megahnya gunung batur dan ketika
menghadap ke timur. Kita dapat melihat sebuah pohon besar, menurut kepercayaan
masyarakat bali di Trunyan pohon Taru dapat menyerap bau busuk sehingga meskipun
mayat dibiarkan tanpa dikubur tidak ada bau busuk tercium dan karena desa ini sangat terisolir, maka di
sana tidak ditemukan binatang pemakan bangkai, sehingga tulang dan tengkorak
tidak hilang dimakan binatang. Pohon ini dikenal sebagai Taru Menyan
yang diyakini sebagai asal mula nama Desa Trunyan. Konon, pohon ini pernah
menyebarkan bau sangat harum. Tetapi, hal ini bertolak belakang dengan cara
pandang keilmiahan.
Secara ilmiah ketika kita
datang mendekati jenasah, bagian tubuh yang terdekat adalah kaki. Ketika siang
hari angin berhembus dari lembah, karena udara berhembus dari temperatur yang
dingin menuju ke temperatur yang panas. Sehingga bau busuk tidak tercium
kecuali jika kita berdiri di atas bagian kepala, baru akan tercium bau busuk.
Biasanya wisatawan atau penduduk sekitar mendatangi tempat para jenasah tadi
pada siang hari. Angin yang datang dari arah belakang tubuh kita sehingga
hidung tidak bisa mencium bau busuk tersebut. Sebaliknya jika malam hari angin
angin berhembus dari gunung sehingga jika kita mengunjunginya pada malam hari
akan tercium bau busuk yang menyengat. Masyarakat trunyan tiadak pernah datang
pada malam hari karena memang suasana disana sangat menyeramkan sehingga tidak
pernah mendapati bau busuk. Begitulah sebenarnya bau busuk tidak tercium di
pemakaman di desa trunyan.